Jumat, 19 Desember 2014

SEJARAH KONJO

SEJARAH KONJO
 
Konjo merujuk pada sebuah dialek bahasa Makassar yang di tuturkan di desa-desa perbatasan kawasan berbahasa Makassar dan Bugis “ Konjo “ berarti “ disini “ dalam dialek Makassar lain yang menggunakan kata “ anjo “ untuk makna yang sama. Sebagian besar orang konjo hidup di sisi pegunungan yang tidak begitu cocok untuk pertanian padi, meski sebagian teras sawah mengesankan di buat juga orang konjo pegunungan di sekitar Malino, kawasan pegunungan Kabupaten Gowa. Makassar – Konjo sekitar 75 persen kosakata dasar dengan bahasa Makassar standar. Dialek konjo sendiri terbagi kedalam dua sub kelompok : “ Konjo pegunungan’’, dengan jumlah penutur sekitar 100.000 di gunakan di dan sekitar Gunung Bawakaraeng,dan “ konjo pesisir “ juga dengan penutur sebanyak sekitar 100.000 jiwa,di pakai di pantai teluk Bone. Konjo pesisir dan pegunungan berhubungan dengan level kesamaan leksikostatistik sebesar 75 persen, sehingga keduanya tidak lebih dekat dari masing-masing ketimbang dengan Makassar standar. Akan tetapi pada level morfonemik,morfologi,dan sintaksis keduanya hampir-hampir sama. Menurut Gibson, 2009, Konjo pegunungan telah mencapai subjek sejumlah penelitian yang terpublikasi, masing-masing oleh Rossler (1987,1990,2000) dan Rottger – Rossler (1989,2000).

Konjo di kecamatan-kecamatan timur Kabupaten Bulukumba di kelompokkan dalam “ Konjo Pesisir ’’. Konsep kecamatan pertama dan kabupaten berasal dari bahasa Jawa. Keduanya menggantikan istilah pemilihan Belanda, regenensi dan distrik, pada Tahun 1960-an sebagai sistem administratif yang terseragamkan d seluruh Indonesia.sebagian dari unit-unit sesuai dengan kerajaan-kerajaan lama,sebagian lainnya merepresentasikan penggabungan atau pemilahan dari unit-unit kerajaan lama itu. Kecamatan di pesisir Bulukumba meliputi kecamatan kajang, Hero Lange-lange ( Herlang ), Bonto Tiro,dan Bontobahari.
Ibu kota Bulukumba dan sekitarnya dihuni populasi berbahasa Bugis yang besar sejak abad ke-17, ketika kawasan ini berada dibawah kendali VOC, yang menyerahkan ke kerajaan Bone. Para penutur konjo menyimpan sebentuk perasaan satu identitas etnolinguistik khususnya dalam konteks lokal di kabupaten , dimana mereka selalu membentuk satu faksi yang bereposisi dengan penutur Bugis. Dalam konteks ini mereka menunjukkan diri mereka dalam bahasa Indonesia sebagai “orang di atas “, ( Frase ini juga mengandung konotasi dalam bahasa Indonesia sebagai “ kelas atas “).
Secara historis kerajaan konjo pesisir paling utara adalah Kajang. Di jantung Kajang terdapat sebuah desa yang di sebut Tana Toa,” negeri tua “ ,terkenal sebagai sebuah tempat bercokolnya kekuatan mistik yang kuat. Desa ini di pimpin oleh “ Amma Toa’’ “ ayah tua “ . Tokoh ini di kelilingi banyak kisah mistik,yang di percaya sebagai reinkarnasi Amma Toa sebelumnya. Kandidat yang berhasil menggatikan Amma Toa sebelumnya di pilih lewat proses panjang dan rumit. Serangkaian pertanda (seekor kerbau, ayam jantan, dan asap dupa) seluruhnya harus menunjuk pada kandidat yang sama,yang kemudian harus mampu menuturkan serangkaian mitos dan silsilah tanpa cacat dan tanpa perlu mempelajarinya. Di selatan Kajang ,Kerajaan kuno Hero dan Lange-lange telah di satukan dalam satu kecamatan Herlang. Keduanya dalam banyak hal masih berada di bawah pengaruh kerajaan kajang yang jauh lebih besar, dan serta turut dalam pemujaan yang d pimpin oleh Amma Toa ( Usop, 1985).
Di selatan Hero dan Lange-lange terdapat kerajaan Tiro , Batang dan Bonto Tangnga yang merupakan kerajaan kuno pedalaman. Seluruhya di gabungkan dalam kecamatan Bonto tiro pada tahun 1960-an. Secara tradisional kerajaan tadi bergabung pada pertanian khususnya jagung. Kerajaan Tiro jauh lebih besar di banding kedua tetangganya,dan terdiri dari tujuh bagian. Masing-masing bagian di pimpin oleh seorang pejabat dan gelar berbeda,merunut hierarkinya adalah sebagai berikut : Lompo, ’sang agung’Erelebu, Gallarang yang bergelar Kalumpang; anrong tau,ibu rakyat ,Caramming; kapala’kepala’ Hila-hila; Macoa “ yang lebih tua” diperbatasan selatan kalumpang, dan di tenggara Caramming, jadi ikatan terdekat Ara dengan Tiro adalah dua pemukiman ini.
Di selatan Bonto Tiro terdapat kecamatan Bontobahari ,” negeri laut “.sebab tanah di Bontobahari sangat tipis untuk mendukung kegiatan pertanian, desa-desa di Bonto Tiro secara tradisional menjadi penyuplai sebagian besar makanan yang di komsumsi Bonto Bahari untuk di pertukarkan dwngan ikan,uang atau barang-barang dagangan.Spesialisasi pada pertanian ini terus terbawah bahkan oleh pekerja Bonto Tiro di rantau,yang direktur untuk menjadi pekerja perkebunan di Sumatera ketimbang di tempat-tempatpembuatan perahu.
Bontobahari terdiri dari kerajaan lama Ara, Bira, Lemo-Lemo dan Tanahberu. Dekatnya ikatan kekerabatan dan pertukaran ekonomi mengaitkan empat wilayah kuno ini. Seluruhnya sangat bergantung pada laut mata pencaharian; Ara dan Lemo-Lemo mengandalkan nyaris hanya pada pembuatan perahu, sementara Bira dan Tanaberu pada perdagangan dan penangkapan ikan jarak jauh, dan kaum perempuan Bira juga memproduksi tekstil katun berkualitas tinggi.
Pambagian pekerjaan di empat desa ini sangat sistematis sehingga kaum pria di Ara menyangkal bila di katakan tahu melayarkan,atay bahkan membuat simpul layar,salah satu perahu yang dia buat sendiri.Para pria Bira dapat menggantikan kemudi,tiang,dan layar sebuah perahu,tetapi tidak dapat membuat lambungnya. Karena mereka adalah pelaut, para pelaut Bira lebih di kenal di seberang dan Bira biasa didefenisikan dalam literatur sebagai kampungnya para pembuat perahu.
Hingga tahun 1930-an,para pria Ara bergantung nyaris hanya para orang Bira untuk membuat perahu.mereka di bayar dengan uang,yang dapat diperoleh orang Bira dari aktifitas perdagangan jarak jauh mereka.penguasaan posisi ini menyebabkan orang Ara bergantung pada mereka,dan di awal abad ke-20 dikenang sebagaimasa sulit di Ara. Ara juga terlibat secara independen dalam pembuatan perahu untuk penguasa Bone yang terletak jauh di utara. namun ini tidak memberi mereka banyak uang, sebab Bone berada di luar rute perdagangan utama pada abad ke-20. ( Gibson, 2009 ;12 )
Situasi yang agak berbeda terjadi di sisi lain ini,di Lemo-Lemo Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, para pembuat perahu Lemo-Lemo mengerjakan pesanan pemukim Makassar di sepanjang pantai Sulawesi Selatan, jauh hingga ke Gowa pada abad ke-19 daerah ini mempunyai akses uang yang jauh lebih besar ketimbang daerah Bugis di teluk Bone dan sebagai hasilnya para pembuat perahu Lemo-lemo menjadi jauh lebih kaya di banding orang Ara. Abad ke 19 dan awal 20 di kenang sebagai masa keemasan Lemo-lemo

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Kira2 tahun berapakah bahasa konjo mulai di temukan?

Suherman mengatakan...

Oh,,

Inspiring Woman mengatakan...

Saya sementara meneliti konjo apa bisa dibagikan referensi info diatas