oleh
Sudikno Mertokusumo
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di
dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut
"stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan
perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila
masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan
dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya
disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan
kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri,
adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada
dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu
pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan
pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan
asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan
dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas
kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau
nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda,
isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama,
walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang
rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak
ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak
asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat
universal, sernua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi
manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain
(Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi
juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten,
ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus
diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap
perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara
kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu
terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau
serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan
"postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis
dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan
dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan
pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang
tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau
pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus
ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai
sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan
timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu
diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan
hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan
oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah "eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam
UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan
warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia
ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang",
sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman
itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat
untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk
melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun
1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi
pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun
1970 ditentukan bahwa organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi
bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri.
Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan
bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1
menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10
ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa
Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa
adanya dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain
Undang-undang no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang
juga untuk mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam
peradilan. Dualisme
ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan bahwa
tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau
"mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan
Departemen Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam
Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23
Oktober 1996 di Ujung Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun
1970 dicabut (Varia Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme
peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu
sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu
pula yang dijadikan alasan mengapa peradilan kita sekarang ini tidak lagi
memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau
benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan kalau timbul
istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan
sebagainya. Apakah benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan
peradilan kita dewasa ini disebabkan oleh dualisme sistem peradilan
kita yang sudah berumur setengah abad lebih (pada hakekatnya sistem peradilan
kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla Belanda)? Apakah benar
bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di bawah dua
atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah:
berlarut-larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan-putusan
yang tidak profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara
dengan dalih "penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi
adanya kolusi suap dan sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita
dewasa ini tidaklah memenuhi harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi
para pencari keadilan, banyak pencari keadilan dikecewakan oleh perlakuan
maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang timbul ialah apakah salama ini
(setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti sekarang? Sebelum
kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak
terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak
sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah
sebanyak sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama
dengan sekarang (bandingkan pasal 7 ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU
no. 14 th 1970) dalam arti dualistis. Sepanjang pengetahuan saya selama ini
belum pernah diadakan studi evaluasi yang intensif dan serius tentang sistem
peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan tersebut di atas: apakah
benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya kebebasan
peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah betul
bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya? Kiranya
kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi kontribusi
juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem
peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber
daya manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang
sistem peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah
peradilan kita mulai pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita
hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini. Integritas
sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan.
Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan
beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di
bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of justice except
the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the key
man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who
administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is
nothing which the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972). Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak
ada salahnya diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang
bersih. Kalau kita hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu
mengevaluasi sistem peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi
tidaknya terutama kepentingan para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian
hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah
sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat
serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh sistem peradilan ataukah
hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang saja? Mengubah
undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya. Mengubah
sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan
ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti
yang sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam
pembuatan rancangan undangundangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem
peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah
peradilan kita akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil
sikap: memulihkan segera citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber
daya manusianya walaupun kita mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin
memperoleh hasil yang memuaskan, atau mengubah sistem peradilan yang akan makan
waktu lebih lama lagi karena harus mengadakan penelitian, studi banding,
pembentukan undang-undang dan sosialisasinya, yang hasilnya masih merupakan
tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk sementara" Pemerintah
tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan perkataan lain akan
mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh karena itu
mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu segera
dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan
kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru
kemudian dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau
bersama-sama dengan peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus
dapat dimulai dengan studi evaluasi peradilan kita dewasa ini.
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai
peraturan organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan
atau setidak-tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah
berlaku dan berjalan sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des
Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim
atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang
telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili.
Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia
bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati
nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra
yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan
bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di
luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam
hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak
jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan
surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan
campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya
yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya
sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal
dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan
ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi
dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara
tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan
kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal
1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung
memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua
perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam
lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili
antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi
yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat
banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung
memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain
Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya
tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula
untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini
berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak
sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang
yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan
kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua
yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan
sekaligusmengembangkan hukum Indonesia melalui putusan-putusannya kearah
kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah
menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu
persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak
atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan,
agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan
peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh
Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan
penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat
akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat
atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum
mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan
"aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat
para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan
negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar
ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus
membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat
menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif.
Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata
cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman
kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan
sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963
Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan
KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan
membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim
menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi
yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan
untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai
wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25
Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi
keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada
Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973
pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan
dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya
apabila diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3
menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala
Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai
soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat
dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang
semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis
tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena perkara
atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah
Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap
perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk
meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim
pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta
intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu
dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum
fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2
Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai
administrasinya sendiri.
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada
Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang
bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general
jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special
jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer
dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970).
Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi
semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau
pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal
spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk
yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau
yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam).
Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang
beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada
hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang
menjadi wewenang peradilan agama.
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10
ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal
peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang
no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi
wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah
petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri,
akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan
perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49
th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan
masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu
berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di
atas tidak berpuncak pad a Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga
putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk
mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi
menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original
jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan
tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaituperadilan dalam
tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah
dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta
adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi
dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan
perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua
tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi
peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan
agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer,
Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha
negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah
diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak
dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah
Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari
peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Daftar acuan
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi
Pancasila, Penerbit Kanisius
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan
intemasional, Ghalia Indonesia
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel,
Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di
Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the
judicial function", National College of State Trial Judges, Reno, Nevada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar